Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Follow Us

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif (“PKRI 15/2020”), yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, koran, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan  pembalasan.

Penghentian penuntutan dilaksanakan dengan berasakan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana , dan biaya ringan. Penutupan demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal:

  1. Terdakwa meninggal dunia;
  2. Kedaluwarsa penuntutan pidana;
  3. Nebis in idem;
  4. Pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali; atau
  5. Telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. Subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana;
  2. Latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak pidana;
  3. Tingkat ketercelaan;
  4. Kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;
  5. Cost and benefit penanganan perkara;
  6. Pemulihan kembali pada keadaan semula; dan
  7. Adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.

Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
  2. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
  3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
  4. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
  1. Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;
  2. Mengganti kerugian Korban;
  3. Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
  4. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.

Akan tetapi penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dikecualikan untuk perkara:

  1. Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
  2. Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
  3. Tindak pidana narkotika;
  4. Tindak pidana lingkungan hidup; dan
  5. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Apabila upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka, selanjutnya Penuntut Umum akan membuat laporan yang menyatakan upaya perdamaian diterima dan diberikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan Negeri untuk diteruskan sampai ke Kepala Kejaksaan Tinggi. Namun, apabila upaya perdamaian ditolak maka Penuntut Umum:

  1. Menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita acara;
  2. Membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan
  3. Melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

 

Suria Nataadmadja & Associates Law Firm

Advocates & Legal Consultants